Selasa, 12 Oktober 2010

si belang kembali meneror meukek

Tue, Oct 12th 2010, 10:46

Nenek Menabur Teror di Meukek

TAPAKTUAN - Harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae) yang lazim disebut nenek, sejak tiga pekan terakhir menabur teror di Desa Jambo Papeun, Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan. Bahkan kini sang nenek dilaporkan semakin sering wara wiri di seputaran desa, hingga masyarakat setempat semakin takut bepergian ke kebun dan ke ladang untuk  mengurus lahan pertaniannya.

Kades Jambo Papeun, Sasmin, kepada Prohaba, Senin (11/10) mengatakan, masyarakat di desanya kini semakin dicemaskan dengan kehadiran harimau yang hingga kini masih berkeliaran di pemukiman penduduk.

Meski pawang Syarwani asal Desa Sawang Teube, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat, sudah tiba ke lokasi atas kerjasama  BKSDA dengan LSM Wildlife Conservation Sosiety (WCS) untuk membuat tangkal di sekitar gunung di desa itu, sekaligus memasang perangkap, namun sang nenek, masih tetap berkeliaran di pemukiman. “Gangguan binatang itu hanya reda sesaat, tapi setelah pawang pulang kampong binatang itu kembali mengganas,” katanya.

Bahkan satwa dilindungi yang diperkirakan dua ekor itu semakin mengganas dan terus memangsa ternak kambing milik warga. Seperti yang terjadi Jumat (8/10) sekitar pukul 22.00 WIB seekor ternak kambing milik Kepala Dusun Simpang Dua, Mustafaruddin, yang berada di dalam kandang berhasil dimangsanya.

Peristiwa tersebut ikut disaksikan oleh istri kadus, tapi pekikan sang istri itu tidak membuat si belang takut, ia terus menerkam dan membawa lari ternak kambing itu ke semak-semak di kawasan pegunungan yang berjarak beberapa meter dari bibir desa itu. “Warga di sekitar desa itu semakin sering kepergok dengan si belang pada malam hari,” katanya.(az)
--
Harian PROHABA

Senin, 11 Oktober 2010





















ulis...

11 OKTOBER 2010
Aceh Selatan, Akulturasi Budaya, Alam dan Legenda yang Mempesona
Long Weekend, rasanya gak etis kalo gak sedikit menyempatkan waktu sejenak, mengetik apa yang perlu diketik, menggerakkan kursor touchpad dan membuka buka folder yang ada di komputer. Sambil mikir, berapa lama ya udah gak nulis? Terakhir nulis tentang perjalanan keliling Aceh yang sangat tidak bisa terlupakan, yang tertulis dengan rapi dengan segala macam perasaan yang campur aduk, hha. Itulah tulisan, kita bisa mencampuradukkan segala macam perasaan dalam antrian kata. Dari pada merokok, dan nongkrong di warung kopi gak jelas (kecuali dengan teman2), mending menyalurkan pengalaman dan pengetahuan lewat tulisan, bisa dibaca banyak orang, dapat banyak teman dan …

Pengalaman yang masih ada dalam bayangan hingga sekarang adalah saat 2 hari berada di Aceh Selatan, saat dalam misi keliling Aceh ( lihat Cerita Keliling Aceh ), melewati kota-kota pantai yang penuh pesona sebelum sampai ke ibukota Tapaktuan, dan menikmati gunung-gunung super terjal setelah melewati ibukota Tapaktuan. Setidaknya bisa diambil pelajaran pertama, Allah memberikan keadilan untuk alam tapaktuan, pantai di utara dan barat, serta gunung di selatan dan timur..





Aceh Selatan, Kabupaten dengan luas sekitar 4500 km persegi, dulunya adalah bagian dari kabupaten Aceh Barat, sebelum tahun 1956. Dan tahun 2002, Kabupaten Aceh Selatan dipecah lagi menjadi 3 yaitu Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Aceh Barat Daya. Seterusnya adalah kota Subulussalam. Secara administratif, kebupaten ini punya 16 kecamatan, 43 mukim dan 247 gampong (kampung). Penduduknya gak lebih dari 300.000 orang ( gak tau siapa yang ngitung, pokoknya ini data dari BPS). Dengan topografi yang lumayan tinggi, Aceh Selatan mempunyai iklim yang basah dengan suhu berkisar dari 26-31 derajat celcius. Cukup dingin jika dibandingkan dengan banda Aceh, hhe..





Membahas Aceh Selatan, gak sah jika tidak membahas legenda yang ada dan sudah turun temurun diceritakan pada warga Tapaktuan. Ceritanya dulu hidup sepasang naga yang datang dari negeri China. Mereka diusir oleh raja, karena tidak mempunyai anak. Namun karena mereka terus berdoa, akhirnya mereka mendapatkan seorang bayi wanita yang hanyut terapung-apung ditengah lautan. Bayi perempuan itu dinamakan Putri Bungsu dan mereka asuh sampai Bungsu meranjak dewasa. Pada satu ketika, munculah kedua orang tua sang bayi dari kerajaan Asralonaka di Pesisir India Selatan untuk mencari bayinya yang telah hilang selama 17 tahun. Sehingga terjadilah pertengkaran antar kedua pasangan ini… (pasangan ganda campuran)

Saat itu muncul pula manusia besar dari Goa Kalam bernama Tuan Tapa, ia meminta kesediaan naga untuk mengembalikan anaknya ke pangkuan orang tua asli sang Putri. Namun, sang Naga enggan memberikan, malah ia mengajak tuan tapa untuk beradu kekuatan, namun akhirnya sang naga kalah oleh libasan tongkat tuan tapa dan putri Bungsu kembali kepada orang tuanya. Karena marah, sang naga betina melarikan diri ke China sambil membelah sebuah pulau di daerah Bakongan, yang kini dikenal dengan nama pulau dua (Emang kelihatan pulau yang mirip dibelah, hha). Gak sampai disitu aja, sang naga memporak-poranda kan sebuah pulau menjadi ratusan pulau yang kini dikenal dengan nama pulau banyak.











Bekas naga yang mati dilibas, hati dan tubuh naga yang hancur berkeping-keping masih dapat dilihat dalam bentuk batu di Tapaktuan. Masyarakat mengenalnya dengan nama batu merah dan batu hitam. Peninggalan sang tuan tapa pun masih ada, telapak kaki, tongkat, peci, dan makam nya pun masih ada di kota Tapaktuan. Sejarah lengkap kota Tapaktuan ini ditulis oleh Darul Qutni yang diterbitkan tahun 2002 yang masih tersimpan di perpustakaan Daerah di Kantor Gubernur NAD. Di buku itu menceritakan bagaimana sang naga merawat anaknya hingga terjadinya pertengkaran. Tapi buku ini saya liat sih berjenis fiksi..





Oke, sekarang kita bahas objek wisatanya, toh tulisan yang biasa saya buat tentang Aceh, gak lepas dari sejarah dan tempat-tempat menariknya, hhe. Di Aceh Selatan ada Kawasan Air Dingin yang dialiri oleh sebuah anak sungai yang memiliki satu pucuk dengan Sungai Tuwi Lhok dan berhulu dari Taman Gunung Lauser ke Samudera Hindia. Di sini ada air terjun dengan pemandian alami yang bisa terlihat dari perjalanan Blangpidie – Tapaktuan, tepatnya di desa Batee Tunggai Samadua. Sebuah kombinasi antara panorama pegunungan dan bentang laut lepas dengan garis pasir putih bak permadani, lebih indah pada saat kita ingin melihat sunset, merasakan indahnya lukisan sang pencipta, melebihi karya manusia manapun di dunia ini, tak ada yang dapat menyangkal..



Ada juga objek wisata Gunung Lampu, di tempat ini terdapat bekas telapak kaki Tuan Tapa, sekitar 50 meter disampingnya, juga terdapat bekas batuan yang dipercaya sebagai peci-nya sang tuan. Inilah asal mula penamaan kota ini yang bernama Tapaktuan. Ada pula wisata Pulau Dua yang ada di Bakongan, bisa dilihat dari lepas pantai Ujung Pulo Cut dan Ujung Pulo Rayeuk. Selain bisa menikmati desriran ombak di pantai dan pemandangan 2 pulau, kita juga disuguhi keindahan pasir putih dan karang laut di pantainya, edan…



Tempat menarik lainnya adalah genting buya atau yang biasa disebut danau tsunami, ya karena danau ini secara gak langsung meluas karena adanya gelombang tsunami, tapi tidak seberapa besar gelombangnya, pantainya dihiasi pohon cemara yang setia menunggu gulungan ombak samudera hindia datang menghampiri. Trus ada juga batu berlayar dan batu Sumbang, letaknya di daerah Gunong Cut, Samadua. Di batu ini pun ada legenda tentang pertarungan Raja Ngang dan Tuan Hilang. Tempat paling populer pastinya adalah pemandian Ie Seujuk Panjupitan, air yang keluar dari bebatuan kaki bukit sangat bening dan dingin. Trus, ada pula air terjun Twi Lhok, yang letaknya di desa Sawang, sekitar 300an meter dari jalan negara, ketinggian air terjun yang mencapai 8 meter membuat masyarakat aceh selatan banyak menggunakan tempat jatuh air terjun ini untuk pemandian liburan, dan ibadah.



Aceh Selatan juga terkenal dengan oleh-oleh buah Pala nya.. masyarakat sekitar mengolah buah pala menjadi berbagai macam produk, ada yang dibuat sirup, manisan, minyak pala, kue pala, dodol pala. Buah yang punya bahasa latin Myristica Fragrans Houtt ini adalah bagian penting dalam perdagangan Belanda dan Portugis jaman dulu sebagai bagian dari rempah-rempah. Khasiatnya banyak, selain untuk bahan masakan, pala juga cocok untuk obat magh, insomnia, kencing manis, hiperaktif untuk anak-anak dan lain-lain. Daerah yang paling banyak menghasilkan pala adalah daerah Meukek dan sekitarnya. Dan dengan bangga saya menyatakan, saya sudah merasakan semua produk-produk dari buah pala, kecuali minyak pala, hhe.. cendramata dari istri wakil bupati aceh selatan.. makasih ibu…



Hasil kebun dan tani yang lain yang ada di Aceh Selatan adalah Nilam, pinang dan juga Madu di daerah Trumon, banyak juga pendatang dari luar daerah ke Aceh selatan membeli Madu di sepanjang jalan daerah Trumon (menuju Subulussalam), atau ya ke Subulussalam banyak juga yang menjual madu asli. Aceh Selatan juga terkenal dari hasil perikanan, karena memang terletak di pinggir laut, dan sebagian besar mata pencaharian warga adalah nelayan. Malah di Aceh Selatan akan dibangun Politeknik yang berbasis pengolahan perikanan, masih dalam proyek katanya, hhe…



Kota Tapaktuan, berbeda sekali dengan daerah di Provinsi NAD yang lainnya. Apabila di daerah-daerah lain di NAD kita akan menjumpai banyak warung kopi, maka di Tapaktuan kita bakal kesulitan mencari warung kopi. Beberapa warung kopi hanya buka pada pagi hari. Kebiasan nongkrong di warung kopi pun tidak terlihat disini. Pejabat pemerintahan rasanya juga lebih kerasan berada di dalam kantor disaat jam kerja. Ini yang saya salut dari orang-orang di Tapaktuan. Karena saat saya ke Tapaktuan juga dalam rangka dinas, kerja sama pegawai negeri di Tapaktuan layak untuk saya acungkan jempol, mereka bekerja sangat profesional, membantu masyarakat, apalagi untuk urusan pendidikan.



Selain Tapaktuan bisa dijangkau dari arah Banda Aceh, setelah bertemu dengan Meulaboh (lihat Sejarah Meulaboh) dan Blangpidie, perjalanan akan ditemani barisan Sawit dan diakhiri dengan aroma pantai lautan Hindia.. bisa juga dari arah Medan, melewati Subulussalam dengan ditemani perbukitan dan panorama laut dari ketinggian bukit yang sangat indah... keluar dan masuk Tapaktuan, kita akan diberikan kenikmatan pemandangan yang luar biasa...





Bahasa percakapan sehari-hari di Tapaktuan pun lebih beragam. Selain bahasa Aceh, warga Tapaktuan juga banyak yang menggunakan bahasa melayu dan bahasa minang (Sumatera Barat), juga tidak sedikit yang pandai berbahasa jawa, karena memang mereka banyak yang berasal dari daerah luar. Orang aceh menyebut bahasa ini dengan nama Bahasa Jamee (tamu). Keberagaman Agama dan Suku di Tapaktuan sangat penuh dengan Toleransi, kayaknya akan betah banget kita tinggal di Tapaktuan. Semoga Tapaktuan bisa lebih maju dari kota-kota lainnya di Aceh.



Ah, indah banget merasakan Keberagaman di Aceh Selatan, Akulturasi Budaya, Alam dan Legenda yang Mempesona membuat saya merasa ingin lagi pergi kesana, tidak dalam rangka dinas, tapi liburan.. untuk menjejakkan kaki pertama kali di Tapaktuan, lumayanlah bisa mengetahui sebagian besar apa dan bagaimana Tapaktuan, untuk kali kedua, mana tau ketemu jodoh di tapaktuan, hhe…


Wait for me Tapaktuan in the Second Destination…

Aceh loen sayang

Budaya Aceh

Rapa'i, Tari saman, Tari seudati, Likok puloe. Peusijuk, meugang. Kata-kata ini merupakan sedikit dari banyaknya budaya yang ada di Aceh. Aceh memiliki sangat banyak budaya, sehingga membuat turis dari luar negeri datang Aceh khusus untuk melihat sekaligus menerawang budaya yang ada di Aceh. Namun sangat disayangkan, budaya-budaya Aceh sekarang semakin pudar karena masuknya budaya-budaya dari luar. oleh sebab itu, kita sebagai generasi penerus harus mempertahankan budaya-budaya aceh. Dan juga mencegah datangnya budaya-budaya asing di Nanggroe kita tercinta ini.

CERITA RAKYAT

Cerita rakyat adalah unsur budaya yang menyatu dengan kehidupan rakyat dari daerah bersangkutan

, ini adalah unsur penting yang memelihara keberadaan untuk bahasa dan sastra daerah dan juga nusur tarian, yang pada gilirannya ikut menaikkan harakat kebudayaan Nasional. Pada dasarnya cerita rakyat dan hikayat Aceh bernafaskan agama Islam, sebagai contoh, Hikayat Perang Sabil, Hikayat Aceh Barulkarim dll.
Di Aceh berhasil digali 80 buah cerita rakyat, yang terdapat dalam bahasa Aceh, Gayo, Jame, Tamiang dan Simeuleu. Beberapa cerita tampaknya memang berasal dari akar masa sebelum budaya kental dengan penuh pengaruh Islam, dimana pengaruh dukun masih ditampilkan.

SENI TRADISIONAL ACEH

Kita ketahui bahwa salah satu seni tradisional Aceh adalah tari.

Ciri-ciri tari tradisional Aceh terbias dari:
-Berwajah Islam
-Pada mulanya hanya dilakukan dalam upacara-upacara tertentu yang bersiafat ritual, bukan kantoran
-Kombinasi yang serasi antara Tari, musik dan sastra
-Ditarikan secarra masal(orang banyak) tetapi menggunakan arena secara terbatas.
-Pengulangan gerakan monoton dalam pola gerak yang sederhana yang dilakukan berkali-kali
-Masa penyajian yang memakan waktu panjang.

Dari sekian banyak tari taradisional Aceh yang banyak dikenal, maka Tari Seudati dan Tari Saman (berasal dari gayo luwes) sudah sangat dikenal di dalam dan luar negeri yang dikenal juga sebagai tarian "Tangan Seribu)". Di samping tarian yang berlatar belakang adat-agama eperti di uraikan tersebut di atas, terdapat juga tarian yang berlatar belakang cerita rakyat (mitos-legenda) yang telah berkembang sebelum Islam masuk ke Aceh.
Secara keseluruhan Aceh kaya akan jenis tarian, dari hasil lokakarya DEPDIKBUD tahun 1981, tercatat tidak kurang 52 jenis tarian Aceh yang sejauh ini dikenal.
Beberapa tari yang dikenal antara lain:
Seudati, yang merupakan tarian tradisional yang berciri Timur Tengah. Dalam hal ini dikenal Seudati agam(laki-laki) dan Seudati inong(perempuan). Tari ini dimainkan dalam keadaan berdiri dan meneouk perut yang menghasilkan sebuah musik.
Saman, tari yang dibawakan bersama-sama dalam satu grup dalam posisi duduk berbanjar. Tari ini diiringi syair-syair yang mengajarkan kebajikan. Tarian ini berasal dari Aceh Tenggara. Tari lain yang mirip dengan tari ini adalah Tari Didong dari Aceh Tengah.
Ramphak, tarian yang menggambarkan sikap kepahlawanan wanita-wanita pejuang Aceh dalam peperangan mengusir penjajah.
Rapa'i, tarian ini dibawakan oleh sekurang-kurangnya 7 orang dan maksimalnya 17 pemain. Jenis tarian ini berasal dari Aceh Selatan. Tarian ini dimainkan dalam posisi duduk berbanjar dan menggunakan rapa'i. Di dalam tarian ini, ne berisikan zikir, kisah, dan atraksi. Rapa'i sebelumnya berasal dari seorang 'Tokoh Arab' yang singah di Aceh selatan yang bernama Rapa'i. Dia menyebarkan agama Islam dengan menggunakan Tamborin pada saat itu. Setelah itu dikembangkanlah menjadi seni tari yang unik. Bisanya tarian ini banyak digunakan pada saat acara-acara besar seperti Isra' Mi'raj, maulid Nabi, pertemuan-pertemuan, dll. D dalam tarian Rapa'i gerakan-gerakan yang menggambarkan kehidupan Aceh sendiri. Dalam setiap gerakannya memiliki makna tersendiri, di antaranya saling berpegangan tangan dengan kuat. Dan gerakan yang dilakukan secara berselang-seling. Tarian Rapa'i pada awalnya dimulai dengan tahap lamban, dan lama-kelamaan akan semakin cepat, dan berhenti ketika habis lagunya, selanjutnya disambung dengan lagu berikutnya. Tarian rapa'i ini tidak hanya dimainkan oleh pemain saja, tetapi juga memiliki "Syech" atau biasa disebut dengan "yang menyanyikan lagu". Lagu yang dibawakan oleh Syech tersebut dinyanyikan bergantian antara Syech dan pemain. Kolaborasi ini harus kompak antara Syech dan pemainnya, kalau tidak akan kacau. Disamping itu Syech harus memiliki vokal suara yang bagus dan kental acehnya. Kalau tidak, idak akan tampak etnik Acehnya.

Demikianlah sedikit dari banyaknya budaya-budaya Aceh. Saya yang menulis berharap agar kita tetap terus mengembangkannya.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Obyek Wisata Daerah Nanggroe Aceh Darussalam

Kabupaten Simeulue beribukota di Sinabang. Kabupaten Simeulue adalah Kepulauan yang berada kurang lebih 150 km dari lepas pantai barat Aceh, berdiri tegar di tengah Samudra Hindia, dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat sejak tahun 2000. Wisata Pantai menjadi andalan daerah ini, karena pesona alam lautnya sangat indah. Alamat Lokasi : Kantor Bupati Simeulue: Jl. Teuku Diujung. Sinabang. Kabupaten Simeulue, Cara Menuju Lokasi : Dari Kota Banda Aceh jarak tempuh sekitar 13-14 jam menggunakan kapal laut. Dalam satu dasa warsa terakhir hasil pulau Simeulue yang sangat terkenal adalah udang lobster (Udang Laut) yang cukup besar ukurannya dan telah diekspor ke luar daerah seperti Medan, Jakarta dan bahkan ke Luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia. Kabupaten ini juga terkenal dengan hasil cengkehnya.



Pantai Ganting

Pantai berpasir putih yg landai ini sangat indah dan menawan, cocok untuk berenang, snorkling ataupun sekedar bersantai diakhir pekan. Alamat Lokasi : Desa Kuala Makmur, sekitar 11 km dari kota Sinabang, dapat dicapai dalam 30 menit, Cara Menuju Lokasi : menggunakan mobil, sepeda motor, atau angkutan umum lainnya, Merupakan wisata andalan daerah ini, karena panoramanya yg sangat indah dan menawan. Selalu ramai dikunjungi jika hari libur tiba, terutama oleh masyarakat sekitar, maupun dari luar daerah.



Tikar Pandan Simeulue
Tikar Pandan merupakan produk kerajinan khas dari Kabupaten Simeulue. Tikar Pandan yang cantik ini dianyam dengan motif dan warna yang sangat beraneka ragam. Cocok dijadikan oleh-oleh jika berkunjung kedaerah ini. Alamat Lokasi : Bisa didapatkan diseputaran Kota Sinabang (Ibukota kabupaten Simeulue). Cara Menuju Lokasi : Bisa menggunakan transportasi umum, Tradisi menganyam Tikar Pandan sudah dilakukan turun temurun di Simeulue. Di Simeulue Barat, Tikar Pandan ini merupakan bagian dari ritual adat, dan biasa digunakan pada saat upacara pernikahan, menyambut tamu, upacara kematian dan upacara doa selamat untuk anak yg baru lahir, dll.

Lobster Simeulue (Seafood)
Makanan Seafood merupakan andalan daerah ini, berbagai macam jenis hidangan laut mudah ditemukan, terutama lobster, udang kipas, kepiting, cumi-cumi dan tentu saja ikan. Alamat Lokasi : Mudah didapatkan di rumah makan dan restoran diseputaran kota Sinabang. Cara Menuju Lokasi : Bisa menggunakan transportasi umum, kendaraan roda empat atau kendaraan roda dua. Hasil laut dari daerah ini memang sudah terkenal, bahkan untuk hasil laut seperti udang lobster dieksport hingga Malaysia dan Singapura. Bagi penggemar kuliner Seafood, daerah ini merupakan surga makanan tersebut. Berbagai jenis Lobster dapat ditemukan disini, antara lain Lobster mutiara yang merupakan jenis unggulan, juga ada jenis Lobster batu.

Pantai Tunggul Indah
Pantai yang satu ini sangat eksotis, terutama disore hari bisa menikmati Sunset yg indah , Alamat Lokasi : Desa Busung, Kec.Seumeleu Timur, sekitar 12 km dari Kota Sinabang, Cara Menuju Lokasi : menggunakan mobil, sepeda motor, ataupun angkutan umum lainnya, Pantai Tunggul Indah memiliki keunikan tersendiri yaitu adanya karang-karang besar yang hadir setelah Gempa dan Tsunami pada Tahun 2004. Pemerintah Kabupaten Simeulue dalam mendukung tempat wisata ini pada Tahun 2006 telah dilakukan Pemugaran, Pembuatan sarana tempat ibadah, tempat mandi dan Pada Tahun 2007 telah pula dibangun Jalan Setapak.

Makam Teungku Diujung
Teungku Diujung dikenal sebagai Seorang Ulama yang berhasil menyebarkan agama Islam di daerah ini. Alamat Lokasi : Desa Kuta Padang, Kec. Simeulue Tengah 32 KM dari Kota Sinabang. Cara Menuju Lokasi : Dapat menggunakan kendaraan umum, mobil dan sepeda motor dalam waktu 2-3 jam dari Kota Sinabang. Teungku Diujung adalah Seorang Ulama yang terkenal dan berhasil menyebarkan Agama Islam di Simeulue. Tempat Pemakaman ini dulunya merupakan pekuburan keluarga Teungku Diujung, sedikit banyaknya terkena dampak dari kejadian Tsunami th 2004 lalu, sekarang Pemakaman ini telah dilindungi oleh pembatas.

Sejarah, Budaya, Kesenian, Adat Istiadat Sumatera

Nanggroe Aceh Darussalam

Ibu Kota Nanggroe Aceh Darussalam adalah Banda Aceh

Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis: Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Nanggröe Aceh Darussalam memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan mengunakan bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari hikayat Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe). Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda. Awal Aceh dalam sumber antropologi disebutkan bahwa asal-usul Aceh berasal dari suku Mantir (atau dalam bahasa Aceh: Mantee) yang mempunyai keterkaitan dengan Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer). Menurut sumber sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain



Budaya
Pengelompokan budaya dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau disebut pula sebagai suku (sukee) besar mengikuti penelusuran antara lain melalui bahasa purba yakni; Budaya Lhee Reutoh (kaum/suku tiga ratus) yang berasal dari budaya Mantee sebagai penduduk asli. Budaya Imuem Peut (kaum/suku imam empat) yang berasal dari India selatan yang beragama Hindu. Budaya Tol Batee (kaum/suku yang mencukupi batu) yang datang kemudian berasal dari berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan Arab. Budaya Tok Sandang (kaum/suku penyandang) yaitu para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam. Dalam keseluruhan budaya tersebut diatas berlaku penyebutan bagi dirinya sebagai Ureung Aceh yang berarti orang Aceh.



Musik

Alat Musik Tradisional Aceh

Alat musik tradisional merupakan sejumlah alat yang digunakan untuk mengiringi suatu kegiatan adat di suatu wilayah tertentu. Alat musik tradisional Aceh berarti alat musik yang digunakan untuk acara-cara tertentu dalam tradisi masyarakat Aceh. Alat musik ini kemudian menjadi sebuah identitas dan kebanggaan ureueng Aceh.

Adapun alat musik tradisional Aceh tersebut di antaranya:

Serune Kalee

Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise. Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.

Gendang (Geundrang)
Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang bersama-sama dengan alat musik tiup seurune kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara iainnya. Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gendangnya. Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit. Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.

Canang

Canang adalah alat musik pukul tradisional yang terdapat dalam kelompok masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang dan Alas. Masyarakat Aceh menyebutnya “Canang Trieng”, di Gayo disebut “Teganing”, di Tamiang disebut “Kecapi” dan di Alas disebut dengan “Kecapi Olah”. Alat ini terbuat dari seruas bambu pilihan yang cukup tua dan baik. Kemudian bambu tersebut diberi lubang, selanjutnya ditoreh arah memanjang untuk mendapatkan talinya. Lobang yang terdapat pada ruas bambu itu disebut kelupak (Alas dan Gayo). Jumlah tali tidak sama pada setiap daerah. Pada Canang Trieng terdapat 5 buah tali (senar) yaitu 4 buah yang saling berdekatan terletak di kiri sedangkan sebuah lagi agak besar terletak di kanan lubang. Tali sebelah kiri dipetik menggunakan lidi, sedangkan tali sebelah kanan dipetik dengan kuku/ibu jari kiri. Tali kecapi ada yang 3 buah dan ada yang 4 buah. Sedangkan Kecapi Olah terdapat 4 sampai 5 buah, yang masing-masing tali diberi nama sendiri yaitu gong (tali besar dekat keleepak), tingkat (1 atau 2 buah tali yang letaknya di tengah) dan gerindik (tali yang paling halus/tinggi suaranya), dipetik dengan bambu yang telah diraut tipis. Pada teganing terdapat 3 buah tali yang paling tipis terletak paling kanan dan paling kasar terletak paling kiri. Masing-masing tali ini disebut secara berurutan dengan nama canang, memong dan gong. Cara memainkan teganing yaitu dengan memukul talinya dengan kayu pemukul yang disebut peguel.

Rapai
Rapai merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut sidak). Rapai digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan rapai dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan rapai disebut syeh atau kalipah



Tarian

Tarian Suku Aceh
Tari Laweut
Tari Likok Pulo
Tari Pho
Tari Ranup Lampuan
Tari Rapai Geleng
Tari Rateb Meuseukat
Tari Ratoh Duek
Tari Seudati
Tari Tarek Pukat

Tarian Suku Gayo
Tari Saman
Tari Bines
Tari Didong
Tari Guel
Tari Munalu
Tari Turun Ku Aih Aunen

Tarian Suku Lainnya
Tari Ula-ula Lembing
Tari Mesekat





Pakaian Adat



Rumah Adat

Kepercayaan individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Indonesia. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50-3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut sramoe likot atau serambi belakang dan sramoe reunyeun atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada di sebelah timur.

Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.

Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya ang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.

Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.

Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.

Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.

Keberadaan Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri. Ide pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan momentum pasca tsunami yang menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004. Pasca tragedi bencana alam tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya membawa bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai yang berkembang di Aceh.



Senjata Tradisional

Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang). Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti siwah, geuliwang dan peudeueng.

Rencong memiliki kemiripan rupa dengan keris. Panjang mata pisau rencong dapat bervariasi dari 10 cm sampai 50 cm. Matau pisau tersebut dapat berlengkung seperti keris, namun dalam banyak rencong, dapat juga lurus seperti pedang. Rencong dimasukkan ke dalam sarung belati yang terbuat dari kayu, gading, tanduk, atau terkadang logam perak atau emas. Dalam pembawaan, rencong diselipkan di antara sabuk di depan perut pemakai.

Rencong memiliki tingkatan; untuk raja atau sultan biasanya sarungnya terbuat dari gading dan mata pisaunya dari emas dan berukirkan sekutip ayat suci dari Alquran agama Islam. Sedangkan rencong-rencong lainnya biasanya terbuat dari tanduk kerbau ataupun kayu sebagai sarungnya, dan kuningan atau besi putih sebagai belatinya. Seperti kepercayaan keris dalam masyarakat Jawa, masyarakat tradisional Aceh menghubungkan kekuatan mistik dengan senjata rencong. Rencong masih digunakan dan dipakai sebagai atribut busana dalam upacara tradisional Aceh. Masyarakat Aceh mempercayai bahwa bentuk dari rencong mewakili simbol dari basmalah dari kepercayaan agama Islam. Rencong begitu populer di masyarakat Aceh sehingga Aceh juga dikenal dengan sebutan "Tanah Rencong".



Sungai

Sungai Geumpang
Sungai Kruet
Sungai Meureudu
Sungai Peureula
Sungai Peusangan
Sungai Ranggos
Sungai Simpang Kanan
Sungai Simpang Kiri
Sungai Teunom
Sungai Waila


Gunung

Gunung Leuser (3172 m)

Gunung Leuser dengan ketinggian 3.404 m adalah gunung tertinggi di Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Gunung Leuser terletak di sebelah tenggara Aceh, dekat perbatasan dengan Sumatera Utara. Gunung Leuser terletak di dalam Taman Nasional Gunung Leuser yang mengambil nama gunung ini sebagai namanya.


Gunung Perkison (2300 m)

Gunung Perkison adalah sebuah gunung yang terdapat di Kabupaten Aceh Tenggara provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Jarak dari kota Kutacane ibukota Kabupaten Aceh Tenggara sekitar 30 km ke arah barat laut.